Sepenggal Kisah Haru

Hiruk pikuk riuk gemuruh jalanan begitu tak asing lagi menghiasi sunyinya jembatan ini, menemani langkahku yang sepi sendiri. Di bawah sana begitu derasnya air yang mengalir, dengan warna coklat kehitaman yang dihiasi dengan banyaknya sampah yang mengayun seolah pasrah mengikuti aliran air ke tempat terdasarnya. Seperti biasa matahari terlihat hendak beralih pergi tuk menerangi belahan dunia di hamparan luas sana. Ini berarti sebentar lagi adzhan maghrib akan segera berkumandang.

Kususuri jalan di jembatan ini, mengikuti arah jalan yang membelah sungai tercemar oleh hinanya tingkah laku makhluk bumi. burung-burung berkicau di antara sekat besi yang membatasi jembatan ini. ‘tak seperti biasanya burung-burung ini menghinggapi besi pembatas’ fikirku. Tak senganja mataku memandang ke arah sebrang jalan, sontak saja ku lihat seorang bapak paruh baya yang hendak menaiki pagar besi pembatas itu, tanpa fikir panjang kakiku melangkah secepat mungkin menyebrangi jalan raya raya. Melewati kendaraan yang tak henti-hentinya berlalu lalang . tak ku pedulikan bisingnya suara klakson yang terus menjerit mencaci tingkahku yang seenaknya saja menyebrangi jalan seperti milik nenek moyang sendiri, fikirnya. tapi itu semua tak menyurutkan langkahku. Rasanya apa yang kulihat di sebrang jalan sana seperti magnet yang menarikku untuk secepat kilat berlari, dengan tanpa ragu ku berlari dan sampai di tempat itu. segera ku pegang erat tangan orang bodoh itu, orang yang hendak memisahkan jiwa dari raganya. Ku tarik tanganya sampai dia terjatuh dari pagar besi itu. Lemah, lunglay tak berdaya. “dasar orang bodoh” bentakku kesal. Tapi dia tak sedikitpun menghiraukan untaian kata kasar yang keluar dari mulutku, dia mencoba berdiri dan naik kembali. Berulang-ulang dia lakukan itu, tapi aku berhasil mencegahnya. Akupun segera menarik tangannya dan menghadapkan wajahnya di depanku. Tetapi betapa lemahnya diriku saat ku tatap matanya yang tak henti-hentinya mengeluarkan air mata, tatapannya begitu kosong putus asa, dengan wajah muram bagai langit mendung gelap gulita.

Sungguh, tatapan kosong itu memadamkan bara api kemarahanku,menjinakkan liarnya mulutku.
Dia, bapak paruh baya yang lusuh itu , dengan mata merah dan pipi basah dengan air mata yang bercampur keringat, jidatnya mengkerut bagai menanggung beban hidup yang tak bertepi, kumis dan rambutnya yang kumal tak terurus.
Dia hanya terdiam lesu, namun air matanya tetap deras mengalir, ku keluarkan sapu tangan dari kantong saku ku dan ku usapkan pada wajah yang berlinang itu, ku ajak bapak itu ke tempat makan, sepertinya sudah berhari-hari makanan tidak sudi mampir di perutnya yang kerontang itu.

Beberapa menit kemudian, hidangan pun datang. Ku letakkan tepat berada di hadapannya, bapak itu tak goyah sedikitpun dengan aroma harum makanan itu. Matanya tak sedikitpun melirik makanan itu. Ku putuskan untuk menyuapi bapak itu, memaksakan sesuap nasi masuk ke mulutnya. Dengan sedikit paksaan akhirnya bapak itupun membuka mulut dan mengunyah makanan itu, beberapa suap nasi pun telah berlalu, berlabuh di perut keroncang sang bapak, kini air matanya mulai surut. Ku ambilkan air miinum untuknya. Kuletakkan tepat di hadapannya. Bapak itupun dengan sigap mengambil air itu dan meminumnya. Tanpa ku sadar senyuman di bibirku menghiasi wajahku yang iba dengan kondisi bapak itu. Tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya padaku, dan menatapku, di tersenyum dan berkata ”siapakah malaikat yang telah ku temui ini?”. Aku hanya meresponnya dengan senyuman. “apakah beban derita yang bapak hadapi seberat itu hingga bapak nekat untuk mengakhirinya dengan jalan seperti ini?”tanyaku. tiba-tiba air mata itu mengalir lagi dari matanya. Ku seka lagi air matanya dengan sapu tanganku.

Kemuadian bapak itu berbicara penjang lebar, menceritakan garis hidup yang tlah dia lalui selama ini. “ apakah hidup memang harus sekejam ini pada kaum fakir seperti kami? Keberadaan kami dianggap lalat yang hinggap diantara sajian makanan. Kami di singkirkan. Kami fakir tapi kami bukan pengemis. Aku, aku tidak meminta-minta pada orang congkak pongah itu. Aku bekerja untuk mencari sesuap nasi, meskipun aku hanya seorang pemulung. Aku juga tinggal bukan di tempat milik mereka, tapi kenapa pandangan mereka seolah takut tapak kakiku mengotori jalanan yang bukan milik mereka. Sang kuasa pun seolah ingin aku menghilang bagai debu yang di tiup angin, pergi menghilang tanpa jejak. Dia mengambil satu-satunya milikku yang berharga, dia merenggut balita kecilku, harapan kecilku. Memang bagi orang lain dia hanyalah gadis balita yang tak punya mata, yang tak mampu melihat hidup. namun bisakah tuhan tidak mengambil satu-satunya yang berharga itu bagiku?”

Tiga hari yang lalu balita kecilku, putri namanya. Kami hanya hidup berdua di bumi luas ini, seluas apapun tapi terasa begitu sempit bagi seorang tua renta sepertiku, suatu hari aku mengajaknya pergi ke suatu tempat, mengajaknya berjalan-jalan, menyusuri tempat-tempat yang indah yang bisa kulalui. Menikmati sejuknya mentari pagi, agar putri tau bahwa bumi ini luas, bukan hanya kolong jembatan satu-satunya tempat yang ada. Meskipun dia tak mampu melihat, tapi senyuman manis, tawa cerianya sangat menyegarkan bagiku saat ku ajak dia berkelilling. Ku ajak dia ke pasar, ke taman, dan tibalah saat dimana dia harus pergi untuk selamanya. Rel kereta api. Saat aku hendak berjalan melalui rel, aku melihat mainan bekas di pojok sana, akupun senang dan hendak mengambilnya untuk sekedar membahagiakan putriku dengan mainan itu. Saat hendak mengambilnya, ku lepaskan putri dari pangkuanku, membiarkan dia sendirian di dekat rel. tanpa ku sadari dia berjalan mendekati rel, dan di saat itu kereta akan lewat, gerbong terkunci dan kaki putri terjebak di rel itu. Saat ku lihat itu aku segera berlari menghampirinya dan menariknya, tapi putri menangis kesakitan, aku tak bisa menarik kaki mungilnya yang terjebak itu. Kereta semakin mendekat. Jeritan putrid pun semakin kencang. Apakah kau tau apa yang bisa ku lakukan? Hanya pelukan hangat seorang ayah yang bisa ku berikan saat itu. Aku berharap pelukan itu bisa membuatnya tenang, aku harap pelukanku bisa mengantarkan kami ke tempat ibunya berada. Tetapi seorang lelaki muda hendak menarikku, memisahkanku dari putri kecilku. Aku yang tua dan lemah ini tak mampu berontak. Putri ku tinggalkan sendiri di sana. Menangis sendirian. Di terkam rel itu. Air mata yang tak henti-hentinya mengalir dari mata mutiaraku. Dia mencoba untuk melepaskan kakinya itu, memanggilku.. ayah, ayah…sungguh ku ingat jeritan terakhirnya sebelum kereta itu menghancurkan tubuh mungil nya.

Sejak saat itu aku merasa bahwa jiwaku juga sudah hilang seiring dengan hancurnya tubuh mungil sang putri. Untuk apa lagi aku hidup, hanya luka yang ku bawa, memberatkan langkah hidup yang rasanya sudah teramat berat ini. Kereta itu pun pergi tanpa mampu menoleh ada jiwa mungil yang telah hilang di sudut sini. Tak mampu rasanya mataku memandang tubuh mungil yang tlah hancur berkeping, bersimpah darah. Namun ketika ku ingat saat dia memanggil ayah, aku pun tak kuasa menahan air mata ini, aku segera berlari dan memeluk putri yang sudah bukan sepertinya lagi. Wajahnya yang kini sudah tak bisa lagi ku kenali. Gemetar tanganku yang sampai saat ini tak bisa hilang. Aku hanya bisa berteriak, berteriak seperti orang gila, menjerit di antara puluhan orang yang tuli, yang menyaksikan kejadian tragis itu, namun tak seorang pun dari mereka yang iba melihat putri kecilku. Mereka hanya memalingkan muka karna jijik dan ngeri.”
Untaian kata berbaris dihatiku, menyusun sebuah tangga hingga ke langit sana.
Untuk putri tercintaku “putriku sayang, cintaku, buah hatiku, maafkan ayahmu yang bodoh ini, yang tua renta, yang tak mampu
melindungimu nak. Tubuhmu yang mungil ini hancur berkeping bersimpah darah, tapi hanya satu yang perlu kau yakini anakku sayang, kau adalah satu-satunya yang tercantik bagiku”

Berhari-hari hidupku sulit tanpa adanya putri yang biasanya menemaniku. Setiap detik yang kulalui bagai derita perih yang menyeret hati. Anak-anak yang melihatku langsung berlarian, mungkin mereka menyangka kalau aku ini akan menculik mereka. Tak sedikit juga orang yang melempariku dengan kerikil, menyuruhku menjauh pergi dari hadapan mereka. Dari sanalah aku berfikir untuk apa aku hidup? Bukankah tidak ada bedanya jika aku matipun? Dunia ini akan tetap tertawa. Mentaripun akan tetap menampakkan sinarnya. Aku memutuskan untuk melepaskan beban berat ini, beban ingatan yang tak mampu hilang saat ku ingat jeritan terakhirnya di rel itu. Tapi yang sangat mengherankan bagiku adalah mengapa kau bisa melihatku?, bahkan ulat bulu pun tak sudi kiranya melihatku. apa untungnya bagimu dengan apa yang telah kau lakukan ini?. Kau hanya membuang-buang waktu dengan mendengar kisahku yang tak penting ini. Bukankah aku ini sangat menjijikan dan setiap orang menginginkan aku pergi menjauh dari pandangan mereka”.
_ _ _
Aku pun menyeka air mataku yang tanpa sadar mengalir mengikuti alur cerita sang bapak tentang buah hatinya. Aku tersenyum dan menatap bapak itu. “bapak, bolehah saya bertanya? Siapakah yang memimpin sebuah Negara?” Tanya ku. Kemudian dia menjawab “tentu saja seorang kepala Negara”. “lalu,, siapakah yang memimpin kota ini?, siapakah yang memimpin desa? Siapakah yang menjadi pemimpin di sebuah kampung?” mendengar pertanyaan itu dia hanya terdiam membisu. Mereka itu orang yang hebat bukan? Lalu, siapakah yang diberi tanggung jawab untuk memimpin bapak? Apakah presiden, mentri, DPR, atau petinggi-petinggi itu?. Bukankah hanya bapak yang di beri tanggung jawab untuk memimpin diri bapak sendiri? Bapak bilang dunia akan tetap tertawa , mentari akan tetap bersinar meskipun bapak tiada?, itu memang benar, akan tetapi tidak untuk orang-orang yang bapak sayangi, untuk mereka yang juga menyayangi bapak. Bukankah sang mentaripun sendirian di atas sana? Tapi dia tetap memancarkan sinarnya meskipun untuk pendusta nikmat sekalipun. Lalu dapatkah bapak bayangkan, alangkah ironisnya jika mentaripun putus asa? Lelah karna di acuhkan, di caci saat teriknya membakar kulit, tapi begitu di harapkan datang saat langit mendung? Manusia itu memang begitu, ketika ada di abaikan, namun setelah tiada begitu di rindukan.

Bapak mungkin berfikir bahwa jalan terbaik saat ini adalah dengan mengakhiri hidup. Tapi apakah tidak terlintas sedikitpun di fikiran bapak bahwa ini hanyalah ujian, ini hanyalah sebuah ujian saja. “bukankah tuhan hanya akan memberikan ujian sesuai dengan kemampuannya?”sela nya. “itu benar” jawabku tegas. “lalu mengapakah tuhan memberikan ujian seberat ini untuk ku?”.tanya nya. “Apakah bapak merasa tidak mampu? Hanya diri kitalah yang dapat menguatkan tekad untuk mampu” akan tetapi aku tidak bisa hidup tanpa putriku” ujarnya. “lalu mengapakah bapak masih bisa hidup sampai 3 hari ini?” mengapakah bapak masih di beri kebebasan untuk bernafas? Bapak… janganlah menyalahkan tuhan untuk segala musibah yang telah bapak alami ini, tahukah? Musibah ini, kesulitan ini sudah di siapkan pahala serta kemudahannya. Bapak ini hanya di uji. Anak, harta, jabatan, bukankan itu semua hanyalah titipan? Apakah bapak yakin tempat persinggahan terakhir putri bapak adalah syurga? Tapi mengapa bapak memilih neraka sebagai tempat bapak bersemayam. Temuilah putri bapak di syurga nanti, rangkaikanlah sebuah doa indah kepadaNya. Agar bapak berjodoh dengannya lagi. Berusahalah, lakukanlah yang terbaik. Jangan memutuskan harapan. Bertaubatlah, jalanilah hidup ini dengan penuh kesyukuran. Bapak lihat orang-orang hebat di sana itu? Mereka hebat bukan karena mereka tidak mempunyai masalah dalam hidup mereka, bukan karena tidak ada masalah yang mampu menghinggapi mereka, tetapi karena mereka mampu menyelesaikan masalahnya, mampu melewati masa-masa sulit saat masalah itu menyulitkan mereka. Mereka itu di hebatkan oleh masalah.

Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri, dan jika suatu hari bapak tidak berpenghasilan baikpun, janganlah berkecil hati’, tetaplah bersahaja. Tanamkan setiap benih kesyukuran akan nikmatNya, setiap kesulitan itu selalu di iringi dengan dua kemudahan, itu adalah janjinya, janji dari yang Maha Menepati Janji. Janji itu sudah menanti untuk bapak jemput. Jangan sia-sia kan hidup dengan berbagai ratapan yang menghinggapi hati dan fikiran bapak. Hiduplah setegar batu karang. Biarlah orang memandang lemah, yang paling penting adalah hidup kita bukanlah tentang apa yang mereka katakan. Bumi ini milik Allah… udara yang bebas ini adalah sebagian kecil nikmatNya yang Dia anugrahkan. Bukankah tidak pantas jika kita menghujat tuhan sang pencipta sedang kita masih menikmati hasil dari penciptaanNya? Jangan sampai suatu saat kita di Tanya “NIKMAT TUHAN YANG MANA LAGI YANG KAU DUSTAKAN?”
­_ _ _ _
Semenjak pertemuan itu, bertahun-tahun berlalu tanpa ku dengar kabar lagi darinya. Hanya takdir yang akan mempertemuakan kami kembali. Aku yang melanjutkan study ku ke jerman dan meninggalkan kisah itu, menguburnya dalam-dalam dalam sebuah kenangan. Kini setelah aku kembali ke Negara asalku, ku coba tuk menyusuri tempat yang biasanya ku lewati, “jembatan tua kini semakin rapuh saja”ucapku pelan. Air sungai di bawah jembatan ini pun sudah enggan untuk menampilkan keramahannya. Tempat ini, tempat yang dulu sering kulalui kini begitu asing bagiku..tetapi satu hal yang ku rasa tidak berubah, yaitu aroma yang sering ku cium di tempat ini.. aroma tidak sedap yang memang sedari dulu sudah menetap di tempat itu. Disini aku kembali mengurai kisah lamaku saat bertemu dengan lelaki paruh baya itu. Aku berharap dia tidak mengakhiri hidupnya setelah kami berpisah.
Iya, tepat di tempat ini aku di pertemukan oleh sang khalik dengannya. Kuarahkan pandangan ku tepat di tempat kejadian itu. Kulihat seorang lelaki tua berdiri disana, memandangi aluran air yang menurutku tidah pantas untuk di pandangi. Tepat di belakangnya terparkir sebuah mobil hitam. Aku pun heran, sedang apakah kakek itu sendirian disana. Karena rasa penasaranku itu. Akupun menghampirinya dan langsung bertanya kepadanya. “sedang apa kakek sendirian disinni?, ketika dia membalikan badan dan menampakan wajahnya padaku,betapa terkejutnya hatiku. Ternyata seorang kakek yang berada di depanku adalah sosok bapak paruh baya yang putus asa waktu itu (man jadda wa jadda) JJJ. END

#ga tau ini tulisan siapa 😛

Tinggalkan komentar